Skip to main content

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama


Nama Raditya Dika yang sudah menjadi sebuah brand tersendiri di Indonesia, lantas membuat para rumah produksi sudah mulai percaya dengan kinerjanya. Setelah proyek Koala Kumal bersama Starvision Plus, di tahun ini pula Raditya Dika bekerja sama dengan Rapi Films untuk merilis sebuah karya baru yang ditulis dan juga diarahkan oleh dirinya sendiri. Proyeknya kali ini berusaha berbeda dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya.

Raditya Dika berusaha keluar dari zona nyamannya yang sudah terbiasa mengarahkan sebuah drama komedi cinta patah hati di setiap filmnya. Raditya Dika tetap bermain di wilayah komedi yang sudah menjadi kebiasannya tetapi digabungkan dengan genre thrilleratau mungkin lebih kepada misteri. Rapi Films menaungi film eksperimen Raditya Dika ini dengan judul Hangout. Di sinilah sebenarnya Raditya Dika berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa diperhitungkan untuk menjadi sutradara yang lebih berbeda.

Setelah kematangan Raditya Dika lewat ‘Single’ ataupun ‘Koala Kumal’, tentu membuat adanya kepercayaan tersendiri lewat film Hangout. Meskipun, ada pula rasa khawatir yang tetap hadir karena apa yang dikerjakan ini masih baru di tangan Raditya Dika. Yang terjadi, sebenarnya ‘Hangout’ masih memiliki kematangan bertutur milik Raditya Dika. Hanya saja, beberapa poin di dalam film ‘Hangout’ ini membuat intensitas filmnya menurun dan masih terasa terburu-buru dalam pembuatannya. 


Kali ini, cerita dari Raditya Dika di dalam film Hangout mengisahkan tentang 9 artis yang memerankan dirinya sendiri. Mereka adalah Raditya Dika, Surya Saputra, Prilly Latuconsia, Mathias Muchus, Dinda Kanya Dewi, Bayu Skak, Gading Marten, Soleh Solihun, dan Titi Kamal. Mereka adalah artis-artis dengan sifat-sifatnya yang berbeda dan sedang diundang oleh Tonni P. Sacalu untuk acara off-air di sebuah pulau terpencil. Mereka mau datang ke acara tersebut karena mereka mendapatkan masing-masing 50 juta sebagai bayaran mereka.

Mereka masih tak tahu acara seperti apa yang akan mereka lakukan di pulau tersebut. Tetapi, hal tragis menimpa mereka ketika mereka tahu mereka sedang dijebak di pulau tersebut. Satu persatu dari mereka dibunuh dan tak tahu pelaku siapa. Mereka berusaha keluar dari pulau tersebut dan mereka menyadari bahwa salah satu dari mereka adalah pembunuhnya. Orang-orang yang tersisa di pulau itu berusaha mencari siapa pembunuhnya. 


Konsep yang dimiliki oleh Raditya Dika di dalam film Hangout ini sangat menarik. Poin pertama yang membuat film Hangout ini menarik adalah ketika 9 karakter ini memerankan diri mereka sendiri. Mengingatkan penontonnya dengan film-film meta seperti This Is The End. Poin kedua adalah bagaimana penonton akhirnya diberikan pilihan dari karya-karya Raditya Dika untuk mencoba hal baru. Di dalam film Hangout ini, Raditya Dika menawarkan unsur misteri yang belum pernah dia gunakan sebelumnya, apalagi ditambahi dengan unsur komedi yang notabene masih baru di perfilman Indonesia.

Bisa dikatakan, misteri-misteri yang berusaha disebarkan kepada penonton di dalam film Hangout ini masih enak untuk diikuti. Raditya Dika berusaha menuturkan setiap kejadian-kejadian di dalam film ini dengan baik. Di durasinya yang mencapai 100 menit, bisa dibilang Raditya Dika masih bertutur dengan tetap menyembunyikan misteri. Cukup mengagetkan pula, dengan jejak rekam Raditya Dika yang belum pernah menangani film seperti ini, film Hangout ini berhasil memiliki momen-momen yang berhasil membuat penontonnya ikut tegang.

Sehingga, ada potensi dari dalam diri Raditya Dika untuk menunjukkan sisi lain di dalam dirinya di karya-karya selanjutnya. Tetapi, film ini pun masih minim akan eksplorasi yang seharusnya bisa memiliki kemasan jauh lebih baik lagi. Bila dibandingkan dengan kematangan yang ada di dalam film-film Raditya Dika sebelumnya, Hangout bisa dibilang penurunan dibandingkan keduanya. Ada rasa sedikit terburu-buru ketika menggarap proyeknya ini. Raditya Dika seperti hanya menawarkan kematangan dalam pemilihan genre, bukan kedewasaan yang berusaha muncul seperti dua film sebelumnya. 


Masih ada rasa ketakutan Raditya Dika yang masih tercermin di dalam film Hangout karena ini adalah sesuatu yang baru darinya. Terlihat bagaimana Raditya Dika masih terlihat bermain aman dalam menjalankan setiap ceritanya. Sehingga di beberapa bagian, Raditya Dika masih juga berkutat dengan hal-hal itu saja. Meski harus diakui, Raditya Dika masih pintar menggunakan referensi-referensi kehidupan bisnis hiburan sebagai set up komedinya. Tetapi, sayangnya hal itu juga minim eksplorasi.

Jadilah bagaimana Hangout penuh akan toilet jokesyang terkadang lebih kepada menganggu daripada menghibur. Guyonannya tak jauh-jauh dari alat vital, toilet, dan organ-organ tubuh lain yang masih terasa menjijikkan untuk diekspos. Dengan kematangan yang sudah ditawarkan lewat Single dan Koala Kumal dari segi referensi komedi, rasanya Hangout adalah titik di mana Raditya Dika ternyata kembali menjadi film komedi yang terasa mentah dan kasar. Meskipun, harus diakui usaha keras Raditya Dika membangun banyak sekali punchlinekomedi di setiap menit agar tetap menjaga intensitas komedinya perlu mendapat apresiasi. 


Bagaimana Raditya Dika terlihat bermain aman terlihat ketika film ini sebagai sebuah misteri, ternyata hanya sekedar sampai menunjukkan bahwa misteri itu perlu dijawab. Tetapi, setelah itu penonton tak diberi berbagai macam alasan yang jauh lebih kuat dari itu untuk lebih yakin tentang motif yang dilakukan karakernya hingga harus melakukan hal seberani itu. Dan alih-alih menjawab, Raditya Dika malah memberikan sebuah nilai moral dari film misterinya dan memberikan turn over character yang juga sangat lemah.

Karena berusaha bermain aman itulah yang membuat daya tarik dan kekuatan dari film Hangout berhasil keluar secara utuh. Hangout akhirnya berakhir seperti itu-itu saja, padahal film ini sudah memiliki banyak sekali pemain-pemain bagus yang dapat mendukung film ini secara keseluruhan. Tetapi, patut diacungi jempol bahwa Dinda Kanya Dewi adalah poin utama yang membantu performa Hangout untuk bisa mendapatkan poin komedinya yang efektif.


Sebagai sebuah film yang berusaha keluar dari zona aman, Hangout sebenarnya masih kurang akan eksplorasi dari Raditya Dika dan malah membuat filmnya masih berada di zona aman miliknya. Tetapi, lewat film inilah terlihat bagaimana Raditya Dika sebenarnya memiliki banyak sekali konsep yang sangat pintar. Memberikan meta film yang berhasil membiaskan sesekali penontonnya bahwa ini adalah film fiksi, bukan realita yang terjadi di kehidupan bisnis hiburan Indonesia. Tetapi, setelah bagaimana kematangan dalam menulis skenario lewat Single dan Koala Kumal, film Hangout jelas terasa memiliki segi kematangan menulis yang menurun. Pemilihan komedi yang lebih kasar ketimbang satir, motif karakter yang lemah, dan penuturannya yang harusnya lebih rapat adalah konsekuensi dari ketidakmatangan itu. Hangout harusnya bisa jauh lebih baik lagi!

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following