Skip to main content

PETE’S DRAGON (2016) REVIEW : Harapan dalam Film Keluarga Sederhana


Disney lagi-lagi berusaha mengenalkan lagi sebuah ‘charm’ cerita dongeng yang pernah dia miliki di film-film sebelumnya. Tujuannya adalah memberikan sebuah jalinan cerita tanpa pretensi yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Tahun ini ada The Jungle Book dan The BFG yang mengusung penuturan cerita formula lama yang ternyata masih bekerja dalam mengikat penontonnya. Maka, tak salah jika Disney mencobanya sekali lagi lewat sebuah rebootdari karya lama dan dikonversi menjadi lebih baru.
 
David Lowery lah yang dijadikan sebagai sutradara dari reboot Pete’s Dragon di tahun ini. Pintarnya, David Lowery tak mentah-mentah mengadegankan ulang apa yang ada di dalam film sebelumnya. Sang sutradara memberikan revisi dari Pete’s Dragon terdahulu untuk divisualkan kembali menjadi sebuah cerita dongeng yang pas untuk masa kini. Sehingga, David Lowery memberikan visi terbarunya dan menjadikan Pete’s Dragon adalah sebuah film keluarga yang berbeda.

Kesederhanaan adalah sebuah kata kunci untuk memunculkan keajaiban dari film Pete’s Dragon. Tak perlu superioritas teori berlebihan untuk berusaha memahami setiap adegan di film Pete’s Dragon secara mendalam. Film ini tak memiliki sebuah pretensi untuk menjadi sebuah tontonan yang berlebihan, sekedar sebagai sebuah film fantasi keluarga yang memberikan rasa hangat dan menyenangkan penontonnya. Hanya saja, sentuhan dari David Lowery ini akan membuat Pete’s Dragon sebuah tontonan keluarga yang berbeda. 


Penuturan Pete’s Dragon menjadi sangat indah dengan penuh romantisasi yang mungkin tak ada kesan paksaan. Pete’s Dragon bagaikan sebuah bait dari baris-baris puisi yang divisualisasikan lewat beberapa adegan tanpa ada kesan berlebihan. Tujuan Pete’s Dragon dalam sebuah film tentu untuk menumbuhkan kembali kesan-kesan magis yang ada di dalam sebuah film keluarga. Tanpa perlu konflik dengan problematika yang kompleks, tetapi masih dapat menimbulkan sebuah kesan bahwa Pete’s Dragon adalah sebuah film yang tak gampangan.

Alternatif yang ditawarkan dari Pete’s Dragon jelas dari bagaimana David Lowery memceritakan setiap detil cerita dari Pete’s Dragon. Memasukkan unsur-unsur emosi yang kental sehingga penonton akan dengan mudah memberikan simpati kepada karakter Pete atau pun kepada sang naga Elliot. Kisah dari Pete’s Dragon yang seharusnya memberikan sebuah kejadian yang memburukkan penontonnya tetapi David Lowery memberikan secercah cahaya dan harapan atas peristiwa buruk tersebut. 


Dibuka dengan bagaimana Pete kecil yang akan pergi bertamasya dengan keluarganya. Sayangnya, perjalanan tamasya itu pupus karena mobil yang ditumpanginya menabrak sesuatu dan terguling ke dalam sebuah hutan. Pete yang selamat berjalan menyusuri hutan dan bertemu dengan sosok naga besar bernama Elliot. Pete dan Elliot pun menjalin sebuah relasi pertemanan yang sangat erat hingga Pete tak sadar bahwa dia telah tinggal selama 5 tahun di dalam hutan.

Pete (Oakes Fegley) tak sengaja ditemukan oleh petugas hutan, Grace (Bryce Dallas Howard) dan diselamatkan agar mendapat perawatan yang lebih layak. Tetapi, Pete tetap bersikeras kembali ke hutan untuk menemui temannya yaitu Elliot. Tetapi, nyawa Elliot sedang dalam bahaya karena orang-orang berusaha untuk memburunya karena Elliot adalah seekor naga legendaris yang hanya digadang sebagai sebuah mitos.


Pertemanan dua makhluk berbeda, problematikanya mungkin akan sama saja di setiap film dengan tema serupa. Jadi, beberapa orang akan menganggap bahwa Pete’s Dragon akan penuh dengan unsur klise dan generik. Tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana David Lowery memberikan sebuah harapan di setiap kejadian dalam Pete’s Dragon. Bagaimana David Lowery juga mengajarkan tentang apa arti merelakan dalam setiap hal di mana orang-orang masih belum tahu benar cara mengatakan hal tersebut.

Arti tentang sebuah harapan pun sudah diperlihatkan di adegan pembuka, bagaimana adegan kecelakaan mobil dikemas dengan visual yang begitu puitis. Tak menyisakan sebuah kesan depresif melainkan menimbulkan kesan melankoli yang lebih pas. Membuka mata penontonnya dengan kata ‘adventure’ yang artinya berpetualang sebagai sebuah harapan bagi Pete. Karakter Pete mempunyai tempat lain untuk membangun referensi dan pengalamannya sendiri untuk berinteraksi. Hutan digunakan sebagai tempat memperkaya itu, yang meski terisolasi tetapi Hutan adalah sebuah harapan bagi manusia untuk tetap bertahan hidup. 


Permainan puisi visual ini tak semata-mata muncul begitu saja. Sebuah pengarahan sinematografi yang kuat dan dipermanis dengan lantunan musik pengantar tanpa ada kesan berlebihan dari Daniel Hart itu lah yang mengangkat gaya penuturan dari David Lowery. Dengan beberapa sokongan dalam hal teknis itu, David Lowery mengajarkan tentang sebuah arti merelakan seseorang. Bagaimana David Lowery menggambarkan dengan adegan Pete sedang kabur dari rumah sakit, menuju ke hutan menemui Elliot.

Diiringi dengan lantunan lagu milik The Lumineers dengan lirik ‘nobody knows how to say goodbye / seems so easy to you try’ menggambarkan perasaan bagaimana Pete sedang mengalami resistensi akan arti sebuah kata ‘selamat tinggal’. Di sini, David Lowery memberikan penggambaran tentang apa itu merelakan dengan menyematkannya pada karakter Pete. Menjadikannya sebagai medium penyampaian pesan-pesan moralitas tanpa melulu harus diekspos dengan derai air mata berlebih. Yang ternyata, hal itu ternyata ampuh menjadi sebuah senjata bagi penontonnya untuk dengan suka rela memberikan sumbangsih air mata kepada kehidupan Pete. 


David Lowery berhasil merangkul segala teknis maupun ikatan emosi dari para pemain filmnya sehingga Pete’s Dragon menjadi sebuah film penuh akan kontemplasi kehidupan dengan sajian universal. Tak memiliki pretensi apapun menjadi sesuatu yang superior, tetapi berhasil membuat penontonnya terenyuh. Alternatif cerita yang minim itu diperkaya dengan bagaimana David Lowery menyampaikan cerita dengan visual-visual cantik yang terlihat seperti sebuah puisi penuh dengan bait-bait romantisasi atas kehidupan pahit milik Pete. Sehingga, tak heran apabila Pete’s Dragon akan dengan mudah merebut perhatian penontonnya yang rindu akan film keluarga yang juga memberikan pelajaran akan arti harapan dan merelakan dengan penyampaian yang lugu layaknya Pete.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following