Skip to main content

NADA UNTUK ASA (2015) REVIEW : Tak Perlu Takut dalam Keterbatasan


HIV/Aids menjadi salah satu topik bahasan penyakit yang sering dibahas di dalam sebuah film. Beberapa film pernah mengangkat penyakit ini menjadi sebuah drama haru biru. Sayang, tak semua film bertemakan hal yang serupa mampu memberikan sebuah pengertian jelas tentang penyakit ganas ini. Semua masih terasa abu-abu dan menjadi sebuah film penyuluhan dengan metode yang sama antar satu film dengan film lainnya.

Seakan tak merasa jera, HIV/Aids kembali diangkat lagi ke dalam medium sebuah film. Kali ini giliran Charles Gozali yang berusaha mengangkat penyakit ganas ini menjadi sebuah drama kehidupan yang mencoba menginspirasi. Nada Untuk Asa yang digarap oleh sutradara Finding Srimulat ini memiliki potensi untuk menjadi film bertemakan sama tetapi dengan kemasan yang berbeda. Dibintangi oleh pemain-pemain handal seperti Acha Septriasa, Marsha Timothy, Wulan Guritno, dan Darius Sinathrya, maka film ini memiliki nilai lebih yang patut diperhitungkan. 


Lantas, apa yang berbeda dari Nada Untuk Asa? Tak ada yang berbeda dari cerita milik Nada Untuk Asa ini. Hanyalah kisah tentang dua orang wanita berbeda generasi yang sedang berjuang untuk hidup dengan penyakitnya. Nada (Marsha Timothy) mendapatkan penyakit ini dari Bobby (Irgi Fahreza), suaminya yang sudah berpulang. Bobby pada awalnya didiagnosa mengidap kanker paru-paru di saat-saat terakhir hidupnya. Tetapi, Gita (Nadila Ernesta) mencoba mencari tahu penyebab lebih kongkritnya. Nada merasa kaget atas penyakit yang ditularkan oleh suaminya ini. Dia merasa pesimis terhadap hidupnya.

Berbeda dengan Asa (Acha Septriasa), dari kecil sudah mengidap penyakit HIV dan harus terpaksa di-PHK oleh bosnya karena sang bos tahu dia mengidap HIV. Asa tetap menerima segala keputusan orang-orang dengan lapang dada. Asa tetap ceria menghadapi hari-harinya hingga akhirnya dia bertemu dengan Wisnu (Darius Sinathrya) di sebuah kafe. Wisnu mulai merasakan sesuatu yang berbeda dengan kepribadian Asa dan mereka selalu bersama-sama.

Kisah perjalanan Asa dan Nada dalam menghadapi penyakitnya inilah yang ditakutkan penontonnya untuk jatuh menjadi sajian penuh derai air mata yang berlebihan. Tak bisa disalahkan, karena penonton sudah terlalu sering ditawarkan film bertema sejenis yang digarap terlalu berlebihan. Tetapi, berbeda dengan Nada Untuk Asa milik Charles Gozali. Karena Nada Untuk Asa tak perlu didramatisir tapi mampu mengundang simpati penontonnya. 


Penonton akan dengan mudah masuk dan memiliki koneksi dengan karakter Nada dan Asa. Karena karakter-karakter yang terinspirasi dari sosok nyata yang diperankan oleh Aktris-aktrisnya ini berhasil memiliki nyawa yang sangat kuat. Tentu itu berkat performa gemilang dari Marsha Timothy dan Acha Septriasa. Meskipun setiap adegan akan tetap dihiasi oleh perang air mata antar karakternya, tetapi tak ada kesan berlebihan. Semua tampil apa adanya dan mampu mengoyak emosi penontonnya.

Marsha Timothy yang memerankan sosok Nada berhasil mengajak penontonnya merasakan kegetiran hidupnya karena musibah yang bertubi-tubi. Peran Nada ini adalah pencapaian luar biasa dari Marsha Timothy. Karena dengan karakternya yang begitu sederhana, Marsha Timothy menunjukkan kualitas akting yang maksimal. Begitu pun dengan Acha Septriasa yang menunjukkan pribadi karakter Asa yang kuat dan ceria. Dan jangan lupakan performa apik dari Wulan Guritno, meski terbatas running time, tapi berhasil mencuri perhatian penontonnya.

Kesederhanaan adalah kekuatan dari Nada Untuk Asa. Di atas sebuah kertas, mungkin Nada Untuk Asa tak memiliki sesuatu yang spesial. Dialog-dialog yang stereotip, penggambaran adegan yang masih sama antar satu film dengan yang lainnya. Tetapi, di tangan Charles Gozali, Nada Untuk Asa berhasil mendapatkan nyawa yang sangat kuat dan nyata. Tanpa adanya eksploitasi air mata dan kesedihan, Nada Untuk Asa tetap ampuh menjadi sebuah tearjerker film yang disajikan ke penontonnya. 


Meskipun, kesederhanaan pula yang menyebabkan Nada Untuk Asa bukan menjadi sesuatu yang sempurna. Masih ada minor di beberapa bagian yang membuat Nada Untuk Asa bergerak terbatas dalam menceritakan setiap narasinya. Juga, beberapa editing yang masih belum halus sehingga beberapa adegan akan terasa meloncat. Tetapi, dikuatkan lewat bagaimana Charles Gozali bertutur untuk menggerakkan pion karakternya yang menyenangkan.

Tertawa di atas derita, ungkapan yang pas untuk Nada Untuk Asa. Tetapi, ungkapan tersebut dikemas menjadi sesuatu yang menyenangkan dan berbeda. Film ini jelas menyampaikan sebuah pesan tentang keberanian untuk menjalani hidup. Meski terbatas oleh penyakit yang ganas, tetapi karakter Nada dan Asa akan merepresentasikan para wanita yang akan terus berjuang melewati hidupnya. Karena hidup tak selamanya tentang bangkit, tetapi akan ada satu poin di mana kita akan jatuh dan harus kembali bangkit lagi. 


Tak ada yang sempurna, Nada dan Asa adalah karakter wanita kuat yang harus jatuh karena penyakit yang dideritanya, begitu pula dengan film arahan Charles Gozali ini. Nada Untuk Asa jelas bukan presentasi sempurna. Tetapi lewat keterbatasan dan kesederhanaan itulah, Nada Untuk Asa berhasil mengeluarkan sinarnya dan dengan mudah mengundang simpati penontonnya. Karena sebuah keterbatasan bukanlah penghambat jika kita masih berani untuk menjalaninya. Nada Untuk Asa punya itu sebagai kelebihannya.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following