Skip to main content

JUPITER ASCENDING (2015) REVIEW : An Empty Flying ‘Object’ [With 3D Review]


Otak di balik Matrix Trilogy dan Cloud Atlas kembali menghadirkan film bertema science fiction. Jupiter Ascending adalah proyek terbaru dari Wachowski bersaudara dengan bintang-bintang ternama. Channing Tatum dan Mila Kunis dipasangkan sebagai aktor dan aktris utama untuk menjalankan cerita Jupiter Ascending. Sayangnya, proyek terbaru dari Wachowski bersaudara ini sempat mengalami hambatan saat menentukan tanggal rilis.

Tak mau filmnya flop atau jatuh terlalu dalam, akhirnya Warner Bros memutuskan untuk memundurkan jadwal rilis dari film ini. Awalnya, Jupiter Ascending dijadwalkan rilis pada bulan September. Warner Bros seperti sudah tau konten dan potensi dari Jupiter Ascending tidak kuat, maka keputusan yang tepat untuk memundurkan tanggal rilis dari film milik The Wachowskis ini. Jupiter Ascending tak memiliki sesuatu yang menarik untuk diceritakan dan dinikmati oleh penontonnya. Jupiter Ascending tak lebih dari sebuah picisan dengan setting luar angkasa. 


Memiliki premis yang terlalu biasa, Jupiter Ascending tak lepas dari sebuah cerita pengantar tidur versi luar angkasa. The Wachowskis seperti memperbarui cerita dari negeri dongeng dan itu dimulai ketika Jupiter (Mila Kunis) adalah seorang dari keluarga yang awalnya tak terlalu memiliki hidup yang susah. Ketika ayahnya meninggal, Jupiter tinggal bersama saudaranya dengan anggota keluarga yang banyak. Jupiter bekerja untuk pamannya hanya sebagai asisten rumah tangga.

Ya, Jupiter mulai mengeluh kehidupannya yang mulai membosankan. Ketika dia berharap hidupnya lebih berwarna, maka keinginannya terkabul. Jupiter menyetujui permintaan saudaranya untuk menyumbangkan rahimnya ke seseorang. Tetapi, dia diselamatkan oleh Caine (Channing Tatum), seorang Splice atau manusia serigala karena hal tersebut hanyalah jebakan untuk membunuh Jupiter. Setelah diketahui, ternyata Jupiter adalah seorang ratu luar angkasa yang hidup di bumi. 


Ya, Jupiter Ascending seperti hanya membangun ulang dongeng-dongeng putri khayalan yang sudah ada dengan versi penuh visual effect. The Wachowskis memang masih bermain di genre-nya tetapi kemagisan tangan mereka sudah semakin pudar. Setelah Cloud Atlas yang filosofis dan ambisius, keputusannya untuk menangani kembali film bertema Matrix mungkin tak terlalu susah. Jupiter Ascending memang masih memiliki cita rasa ala The Wachowskis. Hanya saja ada yang berbeda dan itu adalah sebuah kabar buruk.

Layaknya planet-planet, bongkahan asteroid, dan masih banyak benda angkasa yang sedang mengapung di atmosfer, Jupiter Ascending pun benar-benar mengapung tak tahu arah di dalam 120 menitnya. Premisnya yang sebenarnya sederhana, setidaknya mampu menghibur penontonnya tanpa terlalu memasukkan beberapa subplot ambisius yang malah membuatnya amburadul. Banyak sekali subplot yang dimasukkan oleh The Wachowskis yang dimasukkan oleh mereka ke dalam naskah yang juga mereka tulis sendiri.

Jadinya, Jupiter Ascending memiliki tugas yang begitu banyak untuk mengantarkan cerita mereka yang malah jatuh setengah-setengah. Banyak sekali cerita-cerita yang belum tuntas dicerna oleh penontonnya, The Wachowskis malah memasukkan cerita lain yang juga harus dicerna. Perjalanannya dalam menuturkan cerita di dalam film ini sangat tertatih. Jupiter Ascending pun bukan perjalanan luar angkasa yang ringan dan menyenangkan.


Alih-alih ingin menjadi tontonan ringan, 120 menit milik Jupiter Ascending ini memiliki pace yang lamban dan terasa dipanjang-panjangkan. Diperburuk dengan presentasi editing yang malah membuat film ini terasa loncat sana-sini. Jelas, hal ini malah membingungkan penontonnya karena mereka masih belum secara tuntas mendapatkan informasi yang lengkap dari The Wachowskis. Segala subplot di dalam film ini pun terasa episodik dan bukan hal yang bagus karena The Wachowskis masih belum benar dalam menuturkan setiap ceritanya di setiap subplot-nya.

Dengan durasi 120 menit itu, seharusnya mendapatkan ruang yang cukup luas untuk mengolah cerita dan subplot-nya. Sayang, durasi itu tak dimanfaat dengan baik oleh The Wachowskis. Mereka pun lebih memikirkan menyelipkan action sequence dengan visual yang grande. Sayang, visual efek yang begitu besar dan sebenarnya memanjakan mata itu tak dapat menyelamatkan keseluruhan presentasi dari Jupiter Ascending yang monoton itu. Bahkan, adegan penuh visual efek itu pun kosong dan tak memiliki tensi yang menyenangkan.

Jupiter Ascending tak hanya mengapungkan cerita, efek, tetapi juga chemistry antara pemainnya. Oh ya, Mila Kunis dan Channing Tatum memang memiliki nama yang besar untuk menarik minat penontonnya dengan paras tampan dan cantik mereka. Sayang, tak ada ikatan yang kuat antara mereka. Semua terasa kosong bahkan kisah cinta mereka yang menjadi subplot lain dan cukup mendominasi cerita di film ini. Tak ada yang menggugah penontonnya untuk sekali pun memiliki simpati dengan karakter ini. 


Sehingga, nama-nama seperti Channing Tatum, Mila Kunis, dan seorang aktor pendatang baru, Eddie Redmayne hanya digunakan sebagai trik marketing atas lemahnya konten dari Jupiter Ascending. Tak ada yang bisa dijual selain visual efek yang mewah dan nama-nama besar yang memerankan seorang karakter di dalam filmnya. Semua potensi besar yang besar itu terasa transparan di mata The Wachowskis dan mereka tak bisa benar-benar memanfaatkannya.

Maka, Jupiter Ascending memang tak jauh menjadi sebuah tontonan picisan dengan visual efek yang megah. Sayangnya, visual efek megah dan nama-nama besar di dalamnya tak mampu menyelamatkan bagaimana The Wachowskis masih kurang memiliki kemampuan untuk bercerita. Jelas, Jupiter Ascending akan sangat mudah dilupakan setelah keluar dari studio. Karena presentasinya yang hanya bagaikan bongkahan besar planet Jupiter yang sedang mengapung di atmosfer yang masih kosong, belum berpenghuni. 


Dengan efek visual yang megah, tentu Jupiter Ascending dirilis dalam format tiga dimensi. Maka berikut adalah review format tiga dimensi film Jupiter Ascending.

Efek kedalaman luar biasa serasa penonton akan masuk ke dalam alam semesta milik Jupiter Ascending.

POP OUT
Mungkin hanya segelintir debris dan debu berhasil menyapa penontonnya lewat efek pop out di dalam format tiga dimensinya.
 
Melewatkan Jupiter Ascending dalam format tiga dimensi mungkin taka kan kehilangan momennya. Tetapi, kedalaman yang menarik itu setidaknya membuat Jupiter Ascending yang membosankan ini menjadi sedikit menyenangkan.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following