Skip to main content

HERCULES (2014) REVIEW : REALISTIC VERSION OF ZEUS'S SON [WITH 3D REVIEW]


Sang legenda yunani kembali lagi di layar lebar. Setelah di awal tahun telah disapa oleh Kellan Lutz yang memerankannya lewat The Legend of Hercules dan mendapatkan banyak sekali respon negatif untuk filmnya. Maka, Universal Pictures dengan berani di tahun yang sama mengeluarkan versi lain dari legenda yunani bernama Hercules ini. Sang putra Zeus versi universal ini diperankan oleh Dwayne Johnsson dan dirilis dipertengahan tahun dalam memperingati musim panas di US.


Brett Ratner ditunjuk oleh pihak Universal untuk mengarahkan film ini. Track Record Brett Ratner memang tidak cukup bagus lantaran usahanya untuk mengarahkan final round dari film X-Men yang benar-benar mendapat kritik pedas baik dari kritikus maupun para penikmat film. Dengan reputasi tersebut, tentu akan membuat beban Brett Ratner bertambah ketika dirinya menggarap film Hercules versi terbaru kali ini.


Tentu akan menceritakan Hercules (Dwayne Johnsson) sang putra zeus yang legendaris ini. Hercules adalah sosok tentara bayaran dengan lima sahabatnya yang setia bersamanya. Suatu saat, datanglah sosok Ergenia (Rebecca Ferguson) yang meminta dirinya untuk melindungi dan melatih para pasukan kerajaan Thrace agar bisa melawan oleh musuhnya.

Dengan iming-iming bayaran emas yang banyak, Hercules dan lima sahabatnya ini pun menerima permintaan dari anak Lord Cortys (John Hurt) ini. Mereka pun melatih pasukan dari kerajaan Thrace hingga suatu ketika sosok Hercules menemukan kembali cerita-cerita masa lalu yang membuat dirinya tertekan. Cerita tentang dirinya, istrinya, serta anaknya.


Literally myth bedtime story about Hercules.

Lagi, lagi, dan lagi, usaha para sineas Hollywood untuk mengangkat lagi para mitos-mitos, dongeng-dongeng yang sudah ada sejak dulu kala untuk diangkat ke sebuah layar lebar. Meng-upgrade-nya dengan segala sesuatu yang bisa menjadikan karya tersebut menjadi berbeda. Sayangnya, dengan rombakan yang dilakukannya itu malah menjadikan karyanya bak bumerang yang menyerang balik kepada sineas yang bertanggung jawab dalam proyek tersebut.

Kali ini Brett Ratner mencoba untuk menggunakan kemampuannya untuk mengolah sebuah dongeng-dongeng atau mitos legendaris yang sudah dekat dengan penontonnya. Hercules miliknya yang pada awalnya berjudul Hercules : The Thracian Wars ini ternyata tak jauh berbeda dengan karya-karya sejenis lainnya. Hercules yang diperankan oleh Dwayne Johnsson ini pun membangun alternate universe sendiri yang memanusiakan sosok Hercules yang kuat.

Melenceng dari dongeng-dongeng sebelumnya tentu bukan suatu masalah besar di dunia perfilman Hollywood. Tetapi, bagaimana Brett Ratner ini mencoba untuk memanusiakan sosok Hercules dengan arahan yang minimalis olehnya ini toh malah membuat film ini kurang memuaskan. Alih-alih memberikan alternatif cerita yang lebih realistis, and the result is Herculesjust being another Swords and Sandals movie that we have ever seen before.


Alih-alih ingin memberikan sebuah alternate cerita yang berbeda, nyatanya Hercules versi Brett Ratner ini malah tampil lemah. Memang bukan yang terlemah antara film-film dengan tema sejenis beberapa bagian ada yang bisa dinikmati. Sayangnya, Hercules memiliki template yang sama dengan beberapa film sejenis. Kesannya Hercules milik Brett Ratner ini seperti versi lain dari film kolosal 300 milik Zack Snyder dengan minus CGI dan Slow motion effect dipadu padankan dengan Pompeii milik Paul W.S. Anderson.

Usaha Brett Ratner untuk keluar dari jalur dalam menceritakan ulang sosok putra Zeus ini pun terkesan sia-sia. Toh, Hercules malah menghilangkan banyak bagian dari dongeng-dongeng yang sudah dekat dengan penontonnya. Sosok Hercules yang notabene adalah setengah dewa dan setengah manusia ini diceritakan dengan masalahnya yang kompleks. Good point of view to tell, tetapi minimnya pengarahan membuat Hercules ini malah tidak menunjukkan sosok Hercules yang sebenarnya.

Dengan adanya kompleksitas di departemen cerita, tentu akan melahirkan beberapa subplot yang bergerak di sepanjang durasi. Pergerakan subplot itu terlalu sempit untuk diceritakan dan tentu berpengaruh untuk penuturannya dengan durasi sepanjang 100 menit. Inisiatif Brett Ratner untuk menyembunyikan subplot yang menarik tetapi sayangnya Brett Ratner seperti lupa untuk menjelaskan apa yang sudah di-tease-kan di awal cerita. Akhirnya, seperti dipaksa tampil segala cerita tumpah ke 30 menit akhir film yang membuat film ini terasa draggy.


Akan terasa di beberapa bagian bahwa ada beberapa cerita yang sepertinya belum diceritakan. Ya, Hercules milik Brett Ratner ini terkesan menjadi sebuah sekuel dari film miliknya yang nyatanya tak pernah ada karena penuturan ceritanya terasa tak lengkap. Brett Ratner terkesan malas untuk menceritakan hal yang sudah disajikan di layar dan meyakinkan dirinya bahwa penonton mungkin sudah tahu seperti apa cerita dari film arahannya ini.

Bagi penonton yang menginginkan cerita dongeng yunani dengan demi-god atau sejenisnya, harus siap-siap untuk kecewa. Karena, Hercules akan benar-benar meninggalkan segala jenis fantasinya yang seharusnya menjadi sebuah trademark untuk sosok Hercules. Maka dari itu, buang jauh-jauh ekspektasi itu agar tidak merasakan kekecewaan. Sebagian kecil dari cerita fantasi tersebut mungkin dituangkan dalam cerita pembuka yang ternyata bukanlah bagian dari plot di film Hercules milik Brett Ratner ini.


Hercules kali ini memang akan terkesan humanis dengan point of view berbeda yang diambil oleh Brett Ratner. Sayangnya, Brett Ratner masih belum menunjukkan kepiawaiannya untuk mengarahkan sebuah film dan menjadikan Hercules tampak meyakinkan. Pengolahannya pun jatuh menjadi sajian yang sama seperti film sejenis lainnya. Brett Ratner masih belum bisa belajar atas kegagalannya di X-Men : The Last Stand. Toh, Hercules masih belum memperlihatkan bahwa Brett Ratner adalah sutradara yang kompeten.
Hercules pun dirilis dalam format 3D. Berikut review-nya

DEPTH
Efek Depth untuk format 3D Hercules cukup bagus meskipun di beberapa adegan masih kurang terjamah.

POP OUT
Pop Out sangat berinteraksi dengan baik kepada penontonnya. Dan inilah kelebihan dari film Hercules di segi teknik.

Ya, tontonlah film ini dalam format 3D karena Hercules sangat memanjakan penontonnya dengan format yang berbeda. Setidaknya format 3D akan menghibur anda dengan betapa mediocre-nya Hercules arahan Brett Ratner ini.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following