Skip to main content

TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES (2014) REVIEW : BAY-ISM TALKING REPTILE [WITH 3D REVIEW]


Satu persatu ‘teman-teman’semasa kecil mulai diangkat kembali. Memberikan kembali sinar kepada mereka karakter-karakter yang sudah mulai meredup tetapi setia menemani perjalanan hidup anak-anak pada masa itu. Banyak sekali karakter-karakter di masa itu dikenalkan kembali di masa sekarang hanya untuk sekedar dikenalkan pada generasi baru di masa ini atau hanya memberikan efek nostalgia dengan karakter-karakter tersebut.

Kali ini giliran para kura-kura mutasi yang jago bermain ninjutsu di dalam film Teenage Mutant Ninja Turtles kembali diberikan kesempatan sekali lagi lewat film layar lebar live action. Setelah sempet pernah ada beberapa tahun silam karakter ini kembali lewat film layar lebar  tetapi dalam versi animasi. Michael Bay duduk di kursi produser dan Jonathan Liebesman sebagai kaki tangannya untuk mengarahkan para kura-kura ninja ini. 


Teenage Mutant Ninja Turtles pun me-restart cerita di mana perusahaan Sacks yang hancur lebur karena kebakaran. Kehancuran perusahaan milik Eric Sacks (William Ficthner) ini adalah ulah foot clan yang mencoba mencuri serum yang disuntikkan kepada empat kura-kura bernama Leonardo, Raphael, Micheangello, dan Donatello.

Beberapa tahun berikutnya, April O’neil (Megan Fox) seorang jurnalis dari Channel 6 berusaha untuk mencari tahu kasus-kasus milik Foot Clan. Hingga suatu saat, April memergoki Foot Clan sedang menjalankan misinya dalam melakukan kejahatan. Hal tersebut membawa April O’neil bertemua dengan kura-kura yang termutasi tersebut. Mereka tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang dapat menyelamatkan New York dari kejahatan Shredder (Tohoru Masamune). 


Bay’s talking reptile pet.

Teenage Mutant Ninja Turtles is back. Tetapi, lampu kuning masih menyala ketika film ini ternyata diolah oleh Michael Bay. Ya, meskipun Michael Bay duduk di kursi produser untuk proyek ini rasa was-was juga masih menghantui hasil dari film ini. Dan cukup ditakutkan lagi oleh tangan yang mengarahkan Teenage Mutant Ninja Turtles ini adalah Jonathan Liebesman yang gagal dalam mengarahkan Battle : Los Angeles.

Jonathan Liebesman tentu harus melakukan banyak hal agar membangun reputasi yang baik dan bisa jadi Teenage Mutant Ninja Turles bisa dijadikan batu loncatannya baginya. Tetapi, kesempatan itu belum juga digunakan dengan baik oleh sang sutradara. Alih-alih digunakan batu loncatan, Teenage Mutant Ninja Turtles hanyalah replika dari kegagalan Battle : Los Angeles miliknya dengan gaya yang lebih stylish dan pusing ala-ala Michael Bay untuk film Transformersmiliknya. 


Opening film ini digunakan untuk menjelaskan kronologi cerita yang bisa dibilang cukup singkat. Ya, Jonathan Liebesman tak perlu banyak basa-basi terhadap sosok Teenage Mutant Ninja Turtles. Segala cerita berjalan cepat dengan naskah yang mediocre. Naskah yang ditulis ramai-ramai oleh Josh Appelbaum, Andre Nemec, dan juga Evan Daugherty ini pun mencoba untuk terlihat fun dan lincah layaknya tingkah laku para kura-kura di film ini. Sayangnya, arahan dari Jonathan Liebesman yang masih belum kuat sehingga tidak ada nyawa untuk filmnya.

Para penulis naskah sudah susah-susah memberikan banyak sekali referensi pop culture amerika terlebih tentang film supaya Teenage Mutant Ninja Turtles bisa mengajak penontonnya tertawa riuh saat menontonnya. Potensi terkuat yang dimiliki oleh Teenage Mutant Ninja Turtles yang setidaknya bisa membuat film ini menghibur pun tidak diindahkan oleh Jonathan Liebesman. Jokes cerdas itu terasa sia-sia dibuat dengan arahan Jonathan Liebesman yang ala kadarnya. Begitu pun dengan beberapa jokes slapstick murahan yang tidak malah membuat penontonnya tersenyum. 


Kesalahan lain dari Teenage Mutant Ninja Turtles adalah memaksakan setiap tribute dari seri kartun, live action pada jamannya waktu itu untuk ada di film ini. Trademark yang sudah melekat pada karakter kura-kura ninja ini pun terpaksa ada agar memberikan efek nostalgia bagi penontonnya. Mungkin akan tepat sasaran untuk para penggemarnya, tetapi untuk orang yang tidak mengikuti karakter ini semua akan datang secara tiba-tiba. Bukan untuk dikenang lagi sehingga para penonton awam juga akan ikut mengingat trademark dari karakter kura-kura ninja ini.

Lalu, apa yang diharapkan di dalam Teenage Mutant Ninja Turtles? Cerita? Bukan. Poin cerita untuk film ini adalah bagian terburuk dari filmnya. Dari durasinya yang sepanjang 100 menit ini, cerita bukanlah hal yang penting untuk ditilik lebih dalam. Plot pun setipis kertas, mungkin dalam durasi sekitar 45 menit semua cerita berhasil disampaikan. Cerita hanyalah sebagai pemanis untuk film ini, berada di barisan paling belakang tanpa ada penanganan yang cukup baik. Maka, tentu penonton akan tahu ke mana sisa durasi itu akan menuju. 


Ya, sisanya durasi tentu digunakan sebagai action sequences dengan penuh CGI yang terlalu panjang sehingga tidak bisa menemukan unsur yang fun di dalamnya. Lihat, siapa yang berada di kursi produser di film ini. Tentu, action sequences untuk film ini pun disajikan ala Michael Bay. Akan banyak sekali ditemukan trademark milik Michael Bay di film ini.

Ledakan dan hancurnya kota yang juga masih menggunakan gaya milik Michael Bay. . Dengan beberapa trademark milik Michael Bay yang digunakan di film ini, membuat Teenage Mutant Ninja Turtles tidak memiliki hal yang baru. Everything in this movie was been-there done-there and without some innovation. Dan, tidak ada sedikitpun serpihan-serpihan kota hancur yang berhasil memporak porandakan make-up tebal milik Megan Fox.



  
Tentu, Teenage Mutant Ninja Turtles adalah perjalanan yang cukup melelahkan. Bukan hanya dalam segi cerita, tetapi juga dengan action sequences-nya yang juga terlalu banyak CGI yang akan memusingkan mata pun terlalu panjang. Akhirnya, Teenage Mutant Ninja Turtles akan menjadi tontonan yang cukup menyakitkan untuk ditonton. Well, called this Transformers in talking reptile version. Because there is nothing more than that. Duh!

Teenage Mutant Ninja Turtles pun hadir menyapa penontonnya dalam format 3D. Berikut adalah review dari efek 3D film ini.

POP OUT
Cukup memberikan efek pop out yang asik untuk menyapa penontonnya. Meskipun tak seberapa banyak tetapi cukup asik

DEPTH
Kedalaman yang cukup bagus untuk format 3D-nya. Memaksimalkan setting film ini.
 
Jika efek minor terjadi pada keseluruhan isi dalam film Teenage Mutant Ninja Turtles. Maka, efek 3D dalam film ini akan cukup memberikan sensasi menyenangkan. Ya, Teenage Mutant Ninja Turtles tentu harus disaksikan dalam format 3D.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following